CERPEN | Oven Tangkring untuk Mamak

 

 

            Pagi menjelang begitu cepat, seperti waktu yang ia habiskan hanya dengan berbaring di sebuah kasur kapuk yang sudah mulai usang. Tak hanya sekali Sari, mamaknya menyindirnya agar tidak mengeram di kamar saja.

            “Kok saya punya ayam sudah dua puluh tahun tidak juga bertelur ya.”

            “Ayamnya jantan, mana bisa bertelur.”

Sahut Jupri yang tahu bahwa sindiran itu ditujukan pada dirinya.

Tubuhnya menggemuk karena sudah sebelas bulan hanya di rumah saja. Anjuran pemerintah, katanya suatu waktu ketika ada tetangganya yang menanyakan perihal keberadaan dirinya. Setelah insiden pemecatan dari bekas tempat kerjanya, ia hanya mengisi hari-harinya di rumah. Kadang pintu kamarnya yang bunyinya mengiris telinga ketika ditutup itu tidak dibuka seharian. Dan mengundang irus mamaknya untuk mengetok dengan sedikit “perhatian”.

“Iyaa, sebentar lagi..”

Mamaknya hanya seorang pedagang kue bolu kukus di pasar. Dagangannya dipersiapkan selepas maghrib dan dikemas malamnya, baru sehabis subuh diantarnya ke lapak-lapak di pasar.

Lumayan untuk menghidupi Jupri dan dirinya sendiri. Suaminya sudah meninggalkannya, terpikat janda kaya di dusun seberang. Namun ia mengikhlaskannya, lebih baik melepasnya pergi dari pada dimadu.

Jupri hanya lulusan SMK, tidak banyak bakat yang dimilikinya setelah melepas seragam teknik komputer jaringannya. Bahkan sebagai teknisi ia sendiri sudah lupa caranya merakit komputer karena setelah lulus ia banting setir sebagai admin di sebuah percetakan yang tidak begitu besar di kota Jogja. Hanya melanyani customer yang ingin membeli buku dan menerima naskah masuk. Bayarannya pun hanya cukup mengisi tangka motor bututnya dan separuhnya ia beri ke mamaknya.

Jupri selama pandemi melanda memang sedikit berubah, dari yang aktiv menjadi kurang bersemangat. Bawaannya lesu dan malas untuk ke luar rumah. Bukan tanpa sebab, ia parno karena teman sekantornya ada yang terpapar dan harus dikarantina di rumah sakit selama dua minggu. Terbayang bau obat dan jarum suntik berkali-kali dimasukkan ke pembuluh darahnya. Meringis kecut Jupri membayangkan cerita dari temannya. Tahu kalau ia pun takut dengan jarum suntik.

Sempat terfikir di benak Jupri untuk melamar kerja di dekat rumah sebagai kurir namun ia pikir dengan penuh pertimbangan bahwa pekerjaan seperti itu sangat beresiko di masa sulit seperti ini. Lagi pula upah dari seorang kurir hanya cukup untuk wira-wiri. Belum lagi ia harus menyiapkan kuota untuk membuka peta dengan akses internet.

Pernah suatu saat mamaknya berbincang dengan Bu Candra, tetangga sebelah rumah yang memiliki usaha roti gambang memanas-manasi Sari bahwa dengan berjualan roti gambang yang masih terbilang jarang di Jogja bisa menghasilkan perhiasan yang sering ia pamerkan ke kumpulan.

“Enak ya hidup jadi orang kaya, bisa tenang, apa-apa tidak repot dan kangelan.”

Jupri yang mendengar keluh kesah ibunya hanya bisa terdiam. Namun dalam hatinya berpikir keras dan dengan menatap langit, seolah ada keajaiban datang dan mengabulkan doa akhir tahunnya.

***

Pagi ini Sari terkejut dengan suara ketukan pintu. Dipanggilnya Jupri berkali-kali untuk membukakan pintu namun ketukan masih menyahut. Ia menuju pintu dengan menggerutu.

“Iya, sebentar..”

“Maaf, bu. Apakah ini kediaman saudara Jupri Bing Slamet?”

Ternyata seorang kurir dari sebuah ekspedisi terkenal berdiri di depan pintu dengan membawa kotak yang sangat besar.

“Iya betul. Ada apa ya pak?”

“Saya mau mengantar paket bu.”

“Paket apa ya pak?”

“Sepertinya barang pecah belah, saya juga kurang tahu.” Lalu kurir tersebut berlalu meninggalkan Sari yang masih bingung dan terheran-heran. Sejak kapan Jupri punya uang untuk membeli perabotan. Tak lama berselang, Jupri datang dan disambut dengan omelan Sari.

“Kamu dapat duit dari mana?”

“Ada apa sih mak, baru datang sudah dimarahin.”

“Itu ada paket datang, katanya untuk kamu.”

“Ah yang benar mak?”

Lalu Jupri langsung menuju kamar dan kembali dengan paket yang masih terbungkus rapi.

“Ini, mamak saja yang buka.”

“Kok malah mamak sih.”

“Buka saja dulu.”

Mamaknya langsung merobek-robek pembungkus paket itu dan alangkah terkejutnya dengan isi paket tersebut. Sebuah oven tangkring yang kemarin ia inginkan.

“Sebulan yang lalu Jupri iseng kirim artikel di surat kabar dan ternyata lolos redaksi. Honornya untuk beli ini, oven impian mamak.” Tatap Jupri tersenyum pada mamaknya yang masih terpaku menatap kado di hari ibu. q-r

 

 

Komentar

Postingan Populer