Cerpen | Doa Ibu
Hari ini suami Bu Rey-tetangga
kontrakanku meninggal, jenazahnya akan dikebumikan siang ini pukul sepuluh di
rumah mertuanya, jaraknya sekitar llima menit dari rumahku. Walaupun bukan
orang yang ia kenal, namun aku selalu diajak melayat karena selain seringkali ibu
tidak tahu tempat tempat yang akan ditakziahi juga tidak bisa mengendarai
sepeda motor. Jangankan motor, sepeda onthel pun masih gagu. Tapi jika
suatu saat aku sedang menikmati santai, ibu selalu bilang, “Kenapa kau tidak membantuku?”
Bibirku tidak sempat
untuk mengucap, yang terjadi adalah otomatis bergerak seperti dihipnotis dalam
komando melakukan pekerjaan rumah walaupun sebenarnya sudah dikerjakan ibu, itu
semua karena aku tidak kuat dengan omelan ibu. Ibu yang selalu ku diamkan saat
nampak kesal, entah saat ada masalah kepada bapak atau kepada Okta-adikku,
karena cukup berbahaya jika ibu sudah ngomel dan melontarkan kalimat sakral yang
akan terjadi dalam waktu dekat. Seperti saat aku hendak pergi ke Makassar untuk
kepentingan pekerjaan, ibu menyuruh untuk mengantarnya ke tempat kakaknya
karena searah dengan jalur menuju bandara. Namun aku menolaknya dengan alasan
akan memakan waktu lama karena jalur bandara cukup padat, walau sudah ku
sampaikan dengan bahasa sehalus mungkin dan nada yang tidak ditinggikan namun
ibu tetap tersinggung. Keluarlah kalimat sakralnya,
“Awas nanti di bandara
uangmu hilang..”
Mungkin niatnya untuk
memperingatkanku, tapi tetap saja kejadian. Tidak perlu menunggu waktu lama,
ketika akan turun dari taksi menuju loket check-in dompetku ketinggalan
di kamar, akhirnya aku harus menelepon Okta untuk mengambilkannya. Lalu kalimat
sakral berikutnya saat aku hendak membuang sampah yang baunya sudah memenuhi
area belakang rumah, tiba-tiba ibu marah.
“Punya anak kok pada
tidak peka, orangtuanya kerja malah enak-enak main gawai saja.”
Seketika kalimat maut
keluar begitu saja dari mulut ibu, sebenarnya bukan suatu hal yang sakral. Mungkin
para malaikat ikut mengaminkan maka jadilah kenyataan. Beberapa kali hubunganku
dengan perempuan yang hendak ku lamar kandas di tengah jalan. Ada saja
kendalanya, mulai dari direbut orang sampai menghilang tanpa kabar. Ya, kala
itu Ibu mengatakan bahwa aku bakal tak lagi bisa bermain gawai, sedangkan aku
baru saja memegang gawai hanya karena ada pesan masuk dari Melly-pacarku. Bukan
gawaiku yang hilang atau rusak, tapi Melly yang tiba-tiba menjauh tanpa masuk
akal, padahal tidak ada masalah di antara kami. Menghilang begitu saja bersama kontaknya,
padahal sudah bertahun-tahun kami menjalin hubungan.
Saat suami Bu Rey
meninggal pun tidak luput dari perkataan ibu, ia pernah bercerita bahwa sudah
ada tiga keluarga yang menempati rumah kontrakan yang ditinggali Bu Rey mengalami
nasib yang sama, mati karena stroke. Entah karena kebetulan atau memang ada hal
lain yang membuat bulu kudukku merinding. Sebenarnya sedikit tidak percaya
dengan hal yang berbau mistis. Namun ibu pernah bilang kalau setiap malam
jumat, rumah kontrakan Bu Tutik selalu ada suara gaduh, mulai dari pukul dua
belas dan berakhir hingga pukul tiga pagi. Suaranya kadang seperti orang sedang
bercakap-cakap, kadang ada barang yang dibanting dengan keras atau ada suara
burung gagak yang terdengar karena rumah kontrakan kami hanya dibatasi dengan
sela kecil sehingga terdengar begitu jelas tanpa ada bising dari jalanan.
Entah mengapa ibuku dan
ibu-ibu di kompleks tempat tinggalku juga masih percaya dengan mitos-mitos dan
legenda yang ada di luar nalar manusia. Ketika nonton televisi pun yang ditonton
adalah acara yang tidak jauh dari hal seperti rukyah, penampakan dan
cerita mistis. Apalagi jika setiap malam kamis dan malam jumat pasti tidak
ketinggalan untuk menyaksikan fakta mistis dari salah satu channel
kesayangannya.
Lalu saat melayat pun obrolan
dengan tetangga juga sama, yang ditanyakan; mati karena apa? Apakah pekerjaan
yang dijalani almarhum berbau mistis? Apakah pernah memakai pesugihan? Atau memakai
jasa tuyul kah? Sampai aku yang mengantarnya malu dan tidak tahu harus
bagaimana menanggapi lirikan mata para petakziah siang itu.
“Bagaimana bisa ia
meninggal dalam keadaan seperti itu?”
“Kemarin ada mobil yang
berhenti mendadak.”
“Penglihatannya bagaimana
saat kejadian?”
“Mana saya tahu.”
“Kapan kejadiannya?”
“Jam delapan malam pas malam
jumat.”
“Wah, pasti ada yang ikut
nebeng.”
“Tahayul ah.”
“Benar lho bu, orang saya
tiap malam sering dengar ada suara di dalam rumahnya.”
“Halusinasi anda saja.”
“Serius.”
“Sudah-sudah, pamali,
orangnya sudah mau dikubur.”
“Menurutku agar kita
waspada.”
“Betul, agar iman kita
juga lebih kuat.”
Pembicaraan itu sudah
seperti pet shop yang penuh dengan kucing liar yang sedang menunggu
untuk diobati, ngeang-ngeong, saling mneyahut tanpa mempedulikan orang-orang
sekitar yang sedang ikut berduka. Tapi meski hanya tiga orang yang lain akan
ikut menyahut karena isu seperti ini masih sangat menarik untuk dibahas di
kompleks kami. Karena beberapa kejadian belakangan ada seorang yang tertangkap
basah menggunakan ilmu hitam tidak jauh dari kompleks kami.
Namanya mbah Kebo, ia
membuka klinik pengobatan alternatif yang ternyata terindikasi berbau ilmu
hitam. Bukannya kami tidak menghargai kepercayaan orang lain, tapi hal itu
justru membuat warga kompleks tidak nyaman. Sudah banyak korban yang katanya
berasal dari makhluk gaib yang dipelihara oleh mbah Kebo. Pernah suatu hari anak
sulung Bu Rey kesurupan saat pulang dari sekolah, katanya kecapekan karena
habis mengikuti pelatihan paskibraka di alun-alun. Namun ketika kesurupan yang
masuk ternyata macan peliharaan mbah Kebo. Katanya anak itu hendak ia ambil
sebagai tumbal.
“Aku
ingin anak ini!” makhluk yang bersemayam di tubuh anak perempuan itu meraung
sambil ngesot tak tentu arah.
“Kau
tidak bisa mengambilnya, kalau mau ambil itu ada sesajen yang sudah kami siapkan.”
“Tidak
mau, aku tidak doyan sesajen kalian!”
“Kenapa
tidak mau? Bukankah bangsa kalian memang suka jenis makanan seperti itu?”
“Karena
kalian telah mencampurinya dengan doa-doa.”
Lalu akhirnya macan itu hilang setelah ibu
komat-kamit membacakan doa, tanpa negosiasi dan tanpa gentar ia mengusir
makhluk tak kasat mata itu. Ajaib memang ucapan yang keluar dari mulut ibu!
“Jika
ada yang seperti ini, tolong saudara-saudara jangan mudah percaya.”
“Kenapa
begitu bu?”
“Sebaik-baik
perkataan musuh Allah adalah seburuk-buruknya perkataan.”
“Jadi
jika ibu saya menyumpahi jangan kita percaya bu?” tanya salah satu warga yang baru
pertama kali melihat aksi ibu mengusir makhluk halus.
“Bukan
begitu konsepnya Bambang!”
“Maaf
nama saya Sutris bu.”
“Terserah.
Kalau perkataan ibumu, apalagi jika ia sudah marah maka redakanlah, berkatalah
lemah lembut agar tidak menjadi doa dan membuat engkau masuk dalam murka Allah.
Karena ridha Allah tergantung dari ridha orangtua. Paham?”
“Paham
bu, terima kasih banyak nasihatnya.”
Jadi besok jika ibu marah
saya belikan saja intan berlian agar hatinya senang dan tidak lagi memikirkan
apa yang hendak ia aminkan.
***
Kokokan ayam jantan yang
begitu keras membangunkanku dari mimpi yang menurutku terlampau panjang, tapi
sialnya aku kesiangan. Dan semua pekerjaan rumah telah dilakukan oleh ibu
sendirian. Gawat! Pasti nanti aku akan kena sumpah serapah lagi! Apalagi
sekarang tanggal tua, aduh.. bagaimana ini?!
“Ariiifff…!!”
Benar saja, suara ibu
sudah menggelegar memenuhi rumah sampai menggetarkan jendela dan gelas berisi
air putih di meja kerjaku. Aku harus bagaimana ini? Kebingungan melandaku
seketika, entah aku harus berbuat apalagi. Apa aku harus ke ATM dan
mengambilkan beberapa uang untuk belanja bulanan? Ya, mungkin lebih baik
seperti itu.
“Bu, Arif ke ATM sebentar
ya.”
“Mau apa?”
“Ambil uang untuk Ibu.”
“Tidak perlu.”
“Loh, jadi Ibu tidak
sedang marah?”
“Marah kenapa? Sudah sana
sarapan dulu, ibu sudah masak enak untuk kamu.”
Aneh
sekali ibu hari ini, tidak seperti biasanya ibu langsung menyuruh aku sarapan
tanpa harus mandi terlebih dahulu. Ku lihat ibu berlalu sambil menyunggingkan
senyum, ada ketulusan di balik sosok ibu yang bawel yang perkataannya sangat
mustajab.
Ketika aku akan mengambil
piring dan hendak menciduk nasi dari soblok, ada nasi kuning yang masih
sangat panas. Mungkin baru saja matang.
“Selamat
ulang tahun anak ibu yang paling tampan.”
“Kejutaann..!!”
sahut Okta dan Bapak di belakang ibu sambil membawa kue ulang tahun lengkap
dengan lilin yang masih menyala.
“Jadi
aku dikerjain nih?” aku terharu, tidak kuasa aku menahan haru hingga meniup
lilinnya kesulitan.
“Panjang umur ya nak, sehat dan bahagia menyertaimu selalu." senyum ibu.
“Aamiin..!!.” aku terharu, ku cium kedua tangan ibu dan memeluknya
erat. disusul Okta dan Bapak.
“Make a wish
bang.” sambung Okta masih membawa kue ulang tahunku.
Aku berharap semoga kali ini doa ibu benar-benar terkabul.
Jogja, 22 Februari 2020
Komentar
Posting Komentar