CERPEN | Terperangkap Imajinasi



TERPERANGKAP IMAJINASI

Fajar menjadi saksi atas kelahiranku di ranjang penginapan melati. Orangtuaku adalah penjual minuman keras di sebuah kota kecil. Bulik, paklik, tetangga, dan semua yang dekat dengan keluargaku juga senang melakukan molimo; minum, maling, medok, mateni, . Saat teman-temanku lahir di sebuah rumah sakit, aku hanya dilahirkan dalam sebuah ranjang kecil di penginapan kotor dengan dibantu oleh seorang bidan desa. Sebuah gelang kayu melingkar di pergelangan mungilku, tanda kepemilikan ibuku yang saat itu terbujur lemah tak berdaya. Gelang itu berisi sebuah kode yang aku sendiri tak paham makna dari kode tersebut. Dan kode itu dijadikan Bapak sebagai taruhan dalam sebuah perjuadian di bar dekat dengan rumah.
Tidak sampai di situ, tanggal lahir, jam dan menit saat ku lahir pun diikutsertakan. Siapa sangka mereka semua mendapatkan keberuntungan yang bertubi-tubi karena hal tersebut, mereka bilang aku membawa keberuntungan. Tujuh hari lamanya kode yang menjadi identitas diriku bergantian keluar sebagai pemenang. Hingga aku dipuja dan disebut sebagai anak pembawa berkah! Berkah dalam kegelapan. Saudara bapak yang terlibat dalam salah satu keberuntungan waktu itu menceritakannya kepadakku saat usiaku beranjak lima tahun. Dengan senyumnya yang mengembang dan kebanggaannya akan kejadian tersebut.
Saat aku telah mengenal apa itu angka dan huruf aku diajari bahwa semua ajaran agama tidak mengajarkan hal seperti itu, molimo atau apalah sebutannya. Walau aku sendiri terlahir di lingkungan yang “kotor” dan penuh dengan dosa. Dosa dan tidak berdosa, yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar. Kelihaian manusialah yang mengotak-atikkan dengan sifat dan ketamakannya, begitu susah untuk percaya kepada manusia, hanya Tuhan yang kelak memberi kebenaran akan semua yang diciptakanNya.
Namaku Sari, nama yang berdasarkan kesepakatan bapak dan ibu saat usiaku beranjak dua tahun. Cukup lama mereka berunding akan memberiku nama apa, karena saking banyaknya pilihan nama dari beragam bahasa dan semuanya memiliki makna yang bagus. Orangtua mana yang tidak ingin memiliki anak dengan nama yang indah bukan? Karena nama adalah doa, Ibu memilihkan ku satu nama; Sari. Yang bisa berarti inti atau makna yang memberikan manfaat. Tanpa mendebatkan lagi karena sudah cukup terlambat mereka memutuskan nama yang terbaik, bapak pun menyetujuinya. Tidak ada yang salah di sini baik bapak maupun ibu. Andai saat usiaku beranjak setahun aku bisa mengutarakan pendapatku untuk segera menyarankan mereka untuk memberiku nama, maka tidak perlu menggu selama itu. Namun apalah daya, semoga kelak saat dewasa suaraku juga mampu didengarnya.
***
            Musim penghujan berganti panas, musim panas berganti hujan, berulangkali tanpa menghiraukan jarak siklus diantara mereka, aku yang sudah duduk di bangku SMP mulai mengerti ap aitu perasaan kasih dan sayang yang kian hari luruh berangsur pudar. Dari balik dinding hotel kelas melati. Aku mulai berani untuk menciptakan sajak sajak kerinduan dalam pekatnya kehidupan malam pada Lorong-lorong sempit yang sering menjadi lokasi pertaruhan itu.
            Bapak sudah pergi menghadap yang Kuasa sebulan sebelum kelas dimulai karena terlalu banyak menenggak ciu yang dioplos dengan obat sakit kepala. Ibu kini merantau ke negeri seberang dengan menitipkanku pada bulik Darmi pemilik losmen tempatku tinggal. Kehidupan malam tetap berjalan namun dengan aturan baru yang lebih ketat dan terus dipantau pihak keamanan, mungkin tu pula sebab Ibu meninggalkanku. Ibu pribadi yang tidak ingin menuruti aturan pemerintahan. Seifatnya menurun kepadaku yang sering melanggar tata tertib sekolah hingga berulangkali Bulik Darmi dipanggil pihak sekolah untuk menerima wejangan dan surat teguran atau lebih tepatnya surat ancaman untuk dikeluarkan dari sekolah.
Sebenarnya Bulik Darmi paham jika sifatku ini terbentuk karena faktor lingkungan yang kurang sehat, namun ia tidak terlalu memikirkan cara agar aku menjadi layaknya siswa teladan seperti pelajar yang mempunyai cita-cita mulia. Dia pernah mengatakan kepadaku sebuah wejangan, Jadilah apapun yang kau mau, tapi jangan sampai merugikan dan menyusahkan oranglain. Apalagi jika menyusahkan orang yang telah merawatmu. Ada penolakan yang besar terhadap sesuatu itu, dan itulah pertama kalinya aku tidak ingin melakukan hal yang menurutku terlalu egois.
Aku lebih memilih bermain dengan imajinasiku, walau orang bilang aku orang yang sangat introvert sehingga tidak lebih peka terhadap keadaan sekitarku. Namun aku memilihnya karena akku merasa lebih nyaman dengan hal itu, aku lebih bisa bebas karena bisa melakukan apapun yang ku mau tanpa ada seorangpun yang bisa mengatur kehidupanku.
Dalam imajinasiku, semua terlihat lebih sempurna daripada bermain bersama anak-anak seusiaku dengan boneka buluknya atau sekadar memasak dengan api yang sebenarnya angin atau sayuran yang sebenarnya dedaunan yang ditanam sebagai pembatas rumah. Di dalam imajinasiku aku bisa berperan sebagai presiden, sebagai tantara, sebagai pengusaha maupun sebagai rakyat kecil seperti ibuku. Mungkin aku mewarisi sifat ibuku yang tidak mau diatur oleh siapapun, yang bisa meenggut kebahagiaan hidupnya. Karena setiap orang berhak mendapatkan kebahagiaanya asal jangan mengganggu hak orang lain juga. Begitu kata ibu saat usiaku beranjak sebelas.
Kadang saat aku asik oleh dunia imajinasiku sendiri, aku melihat diriku sedang bersedih. Seakan bercermin namun cermin itu membentuk wujud tersendiri dengan ekspresi yang berbeda. Pernah ku tanyakan pada diriku sendiri mengapa ia begitu sedih? Diriku yang lain menjawab karena diriku terlalu lama memendam kesepian sehingga menyebabkan diriku yang lain itu tidak bisa lagi membedakan imajinasi dan realita. Aku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh diriku yang satunya. Namun dia tidak mmenjawab pertanyaanku selanjutnya, malah pergi jauh meninggalkanku.
Ada suatu hari aku mencoba untuk bermain bersama teman-teman, namun menurut mereka aku terlalu kasar dan seringkali keluar dari tema permainan yang sedang kami mainkan. Dimana kompor-komporan yang seharusnya sedang memasak aku siram air atau boneka barbie aku copot lengannya atau aku pukul kepalanya hingga peyok. Anak perempuan pemilik boneka itu menangis dan mengadu ke Ibunya.
“Anak orang gila! Jangan bermain lagi dengan anak haram macam dia!” semua teman-temanku bersorak dengan raut muka jijik dan marah kepadaku. Apa salahku? Aku hanya memainkan peranku sebagai penjahat. Itu sudah sesuai dengan apa yang ada di imajinasiku. Hingga aku diseret masuk ke dalam rumah oleh Bulik Darmi dan dimarahi habis-habisan. Aku tidak boleh lagi keluar rumah untuk bermain bersama dengan yang lain.
Katanya aku terlalu egois dan tidak bisa menjaga perasaan mereka. Seharusnya aku meminta maaf, namun aku tetap bersikeras tidak melakukan kesalahan sehingga tidak ada yang perlu menerima permintaan maafku.
“Aku tidak salah, aku hanya memainkan peranku sesuai permintaannya, apa itu salah?”
“Kau tidak bisa merusak barang orang lain sesuai keinginanmu, dan itu membuat orang lain terluka hatinya!”
Aku benci dengan perlakuan Bulik Darmi yang menyudutkanku seolah hanya aku yang bersalah, aku keluar tapi bukan untuk meminta maaf, aku kembali untuk meluapkan kekesalanku dengan membuat salah satu anak perempuan itu tidak bisa lagi menangis. Tapi semua warga berkumpul dan ramai-ramai menangkapku karena telah meyebabkan hilang nyawanya. Aku tidak tahu lagi apa yang harus ku lakukan jika perempuan itu masih saja mengadu pada orangtuanya. Aku tetap hidup dalam kesendirianku. Namun aku sadar, aku sudah tidak lagi menyusahkan Ibu, Bulik Darmi maupun orang-orang egois yang seenaknya memutuskan apa yang tidak boleh aku lakukan. Karena kini aku hanya hidup dengan imajinasiku dalam sebuah kerangkeng kecil di rumah sakit jiwa.

Komentar

Postingan Populer