CERPEN | Shue
SHUE
Libur natal dan tahun
baru kali ini aku dan keluarga (Papi, Mami dan Bill adikku yang super cengeng)
pergi ke Kulon Progo, sebuah kabupaten paling barat di Yogyakarta. Mungkin aku
tidak akan pernah ke sini jika bukan rengekan Bill yang rindu pada Opanya.
Ekspektasiku ketika akan berkunjung ke rumah Opa adalah sebuah kota kecil yang
tidak ada tempat rekreasi dan jauh dari alam karena menurut berita, kota ini
akan dibangun bandara Internasional pengganti bandara Adi Sucipto. Pasti sangat
bosan sekali tidak ada tempat untuk dikunjungi.
Semoga saja ekspektasiku
salah. Aku orang yang sangat tidak betah jika berada di rumah. Pasti satu hari
saja minimal aku harus jalan ke tempat untuk mencari hiburan. Paling Papi Cuma
bilang,
“Hati-hati bawa mobilnya,”
atau Mami yang mengingatkan,
“Jangan lupa makan, tapi
jangan boros ya.”
Yang aku sebalkan adalah
mereka dengan kompaknya pasti bilang begini,
“Ajak adikmu
jalan-jalan. Liburan ini kan yang minta adikmu. Bukan kamu!”
Huft..gimana mau gebet
cewek kalo kemana mana bawa adek, gerutuku. Tapi apa boleh buat, mau gak mau
aku harus mengalah sebagai abang yang baik.
Hari kedua aku terpaksa
mengajak Bill untuk sekedar cari angin
ke pusat kota.
“Awas ya kalo kamu ngerepotin
di jalan, abang tinggal di jalan biar dimakan macan!” ancamku pada Bill yang
bertubuh gempal sambil ku unyel-unyel pipinya yang tembem.
“Emang ada macan di sini
bang?” sambil menjilati jari-jarinya yang belepotan chiki
“Tentu saja ada! Nanti
abang buang ke hutan biar kamu dimakan.”
“Bill gak takut kalo sama
macan kok weks!”
“Yakin?”
“Iya, lagian kata Opa
macannya cuma ada di Gembiraloka Zoo”
“Kalo yang ini takut
gak?”
Kontan langsung saja
teriakan cempreng memekakkan telinga memenuhi mobil setelah ku lempari mainan
berbentuk ular dari karet.
“Mami!! Papi!! Bang Joe
tuh nakaaal..!!” sembari sesenggukan menahan tangis
“Hahaha makannya jangan
sok tau kamu. Lagian percuma kamu teriak teriak orang kita udah jauh dari rumah
Opa.” ledekku malah membuatnya menangis lebih keras.
Tapi belum ada sepuluh
menit perjalanan Bill sudah lelap dengan mimpinya bonus dengkurannya sambil mendekap
boneka pandanya. Perjalanan dari rumah Opa ke pusat kota hanya ditempuh dengan
waktu kurang dari setengah jam. Karena jalanan licin setelah diguyur hujan jadi
harus ekstra hati-hati berkendara.
Setelah lelah bertanya
warga sepanjang perjalanan menuju pusat kota Wates akhirnya kita sampai juga di
sebuah tanah lapang yang cukup luas. Dua buah pohon beringin di tengahnya mirip
Alun-alun Kidul Yogyakarta yang terkenal dengan permainan mistisnya, jika
berhasil berjalan melewatinya dengan mata terutup konon keinginannya akan terkabul.
Namun para wisatawan tidak
ada yang lolos melewatinya. Walaupun ada hanya satu dari seribu orang yang bisa
itupun dengan mengintip celah kain haha.. aku tak percaya dengan hal-hal
seperti itu. Rasa penasaran pun datang, apa beringin ini juga sama dengan yang
di Alun-alun Kidul? Langsung saja ku bangunkan tubuh gempal Bill
“Dek, bangun. sudah
sampai nih. Mau di mobil apa ikut abang?”
Bill yang setengah
sadar langsung mengikutiku menuju para penjual makanan yang berjejer di
pinggiran Alun-alun. Bill memilih berhenti di dekat lapak penjual Siomay,
langsung saja ku pesan sebagai pengganjal perut, karena ku tahu habis bangun
tidur pasti lapar perutnya.
“Bang, dua porsi ya
yang satu setengah porsi gak pedes yang satu super pedes.”
“Ok bro!” ujar tukang siomay
yang masih muda ditemani istrinya.
“Bang, pohon beringin
yang ditengah apa sama dengan beringin yang ada di Alun - Alun Kidul? Maksudku
apa juga ada tradisi permainan tutup mata gitu?”
“Oh nggak kok mas, itu
pohon beringin ditanam baru beberapa tahun belakangan dan tidak ada sangkut pautnya
dengan ringin yang ada di Alun-alun Kidul.” jelas si abang siomay.
Ketika akan berbalik
ada sosok berbaju merah berjalan cepat sehingga tidak memungkinkanku mengelak
dengan sigap. Kami bertubrukan, barang bawaanya berserakan kemana-mana, dengan
gesit aku bantu mengumpulkan seraya meminta maaf kepadanya.
“Maaf ya mbak, aku yang salah…”
Mungkinkah ini hari keberuntungan
ku. Sudah sekian lama aku tidak merasakan perasaan aneh ini, saat tangan kami tidak
sengaja saling bertemu. Sinar mata itu berbeda,
ada sesuatu yang amat besar jauh dalam dirinya.
Jantung ku berdegup
kencang lebih kencang saat bertemu polisi yang akan melakukan razia surat
kendaraan di jalan. Dengan sedikit mengumpat, rupanya perempuan itu memperhatikan
lamunanku dan terciptalah adu mulut di antara kita berdua, sebenarnya aku gak
mau meladeni tapi karena gengsi dilihat banyak orang saja. Namun ada perasaan
lain yang hinggap pada diriku.
***
Keesokan harinya Bill
merengek minta diajak ke perpustakaan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dari
guru Bahasa Indonesianya di Sekolah Menengah Pertama. Bill mendapat tugas dari
gurunya untuk mengunjungi perpustakaan selama liburan, walau Joe tahu betul
Bill paling malas belajar sama seeperti dirinya namun Bill anak yang tidak mau
mengambil resiko kalau nilainya jelek sehingga Papi nya masih memberinya hadiah
atas nilai yang telah ia capai dengan sempurna. Aneh memang, jarang belajar
tapi nilai ujiannya selalu bagus. Setelah sampai di perpustakaan Joe bertemu
dengan perempuan yang ditubruknya kemarin. Bill yang resek memaksa Joe untuk
mengajarinya mengarang tapi Joe malah salah tingkah dihadapan perempuan itu. Akhirnya
Bill sesenggukan hampir memecahkan keheningan seisi perpustakaan. Tiba-tiba
perempuan itu yang melihat ke arah aku dan Bill lalu menawari bantuan. Gila!
ini gila! Dimana mukaku sampai dia yang datang tiba-tiba ngajarin Bill.
Akhirnya kita berkenalan
dan ku tahu Namanya Shue.
“Hmmm, nama
yang cantik.” puji ku.
Heeiii! Dia malah
nyuekin aku dong! Kataku dalam hati
Dia malah asik ngajarin
Bill, yang kemudian Shue mengambil alih peran Joe. Bill meledek Joe dengan bermanja
ria saat diajak keliling perpustakaan melihat ruang baca dan koleksi
perpustakaan. Namun Joe tidak menghiraukannya, aku sesekali melihat ke arah perempuan
itu sambil membaca sebuah novel bersampul hitam dengan gambar pita merah di tengahnya.
Sehari saja perasaan
Joe malah menjadi semakin galau. Ia masih saja teringat wajah gadis yang
bernama Shue yang sudah dua kali menyita perhatiannya. Sampai tiba pada hari
terakhir liburannya, ia kembali mengunjungi perpustakaan tanpa mengajak Bill
mulai dari perpustakaan buka hingga tutup jam operasional.
Akhirnya Joe melihat
sosok yang hampir membuatnya mabuk asmara lewat di depan perpustakaan. Joe memberanikan
diri memanggil Namanya walau dengan perasaan sedikit malu hingga menghasilkan
intonasi melengking dan sedikit tercekik. Yang disapa pun mendengar sambil
menutup mulutnya seakan mendengar suara Joe yang seperti anak kambing itu.
Joe ingin meminta maaf
atas kelakuannya sekaligus berterima kasih pada Shue telah membantu adiknya
mengerjakan tugas. Joe juga ingin sekali untuk bersilaturahmi ke rumah Shue menjalin
erat dengan keluarga Shue tapi diurungkannya karena takut Shue akan menolaknya,
dan terpaksa mereka bertiga hanya sekadar ngobrol di bangku depan perpustakaan.
Sembari melihat orang-orang yang akan pulang meninggalkan perpustakaan sesekali
melirik ke wajah manisnya. Dia salah tingkah, beberapa kali membenarkan posisi
duduknya. Aku yang tau bahwa dia tidak ingin berlama – lama di sini langsung berbasa-basi,
“Habis darimana Shue?”
“Dari ruko mau pulang”
“Ganggu gak?”
“Engga kok, ada apa?”
Kutawarkan minuman yang ku ambil
dari dalam bagasi motor, namun ditolaknya. Aku menghargai nya, hanya ada beberapa
perempuan tipikal seperti dia, apa aadanya. Dan mungkin dia yang sudah tahu aku
orang yang gemar menggombal hingga dia memotong pembicaraanku tanpa mempedulikan
betapa nerveous nya aku.
“Shue minta, kak Joe jangan sedih atau marah.
Shue tau selama di sini kakak sering mencari Shue kan? Tapi maaf, jika
kak Joe ke sini hanya untuk menyatakan perasaan kak Joe, Shue menolak untuk
berpacaran.”
Aku yang mendengar
pernyataan terus terang dari Shue terkejut. Ternyata Shue selama ini juga
memperhatikan aku. Dan diutarakannya kembali alasan dia menolak untuk menjalin
hubungan hanya karena ia ingin segera menikah.
“Kapan kak Joe bisa
datang ke rumah untuk melamar kamu?” tanyaku dengan antusias.
“Kalau kak Joe ingin
serius sebaiknya datang sekarang juga sebelum semuanya terlambat.”
Aku bingung dengan
perkataan Shue, namun rasa bingungku haru kutahan demi memantapkan hatiku untuk
segera melamarnya.
Akhirnya setibanya di rumah
Shue, aku tidak berhenti bersyukur dalam hati betapa sederhananya hidup Shue,
gadis yang ku temui lima hari yang lalu. Shue masuk ke dalam rumah dan
mempersilahkan ku untuk menunggu sebentar. Terdengar dari dalam rumah percakapan
Ayah dan puterinya. Antara gugup dan senang aku melihat sang ayah keluar dalam
kondisi yang sangat lemah namun pasti dituntun oleh Shue.
“Nak Joe ya?”
“Iya pak, saya Joe
teman Shue”
“Pak, Shue buatkan
minum dulu ya?”
“Iya nduk, bawa
sekalian roti yang ada di dalam,”
“Ga perlu repot-repot
pak,”
“Halah, ga repot sama
sekali kok.” dengan aksen Indonesianya yang medok, lalu dengan wajah yang tegas
menatap ku dalam dalam melihat tujuanku datang.
“Tidak mudah sebenarnya Bapak mengatakan ini,
tapi sebelum Sebenarnya Shue hanya seorang perempuan dengan virus yang kata orang
mematikan. Shue perempuan positif hiv. Apakah nak Joe masih mau untuk
meneruskan hubungan hingga berumah tangga dengan Shue?”
Seketika raut mukaku berubah, dari gugup menjadi sedikit tersentak. Tapi
tidak dengannya yang datar dan tetap melipat dagunya. Jadi arti dari perkataan
Shue bahwa jangan sampai semuanya terlambat ini jawabannya.
Joe seperti ditusuk dadanya,
bahwa hidupnya selama ini terlalu menampilkan kemewahan, hanya karena orangtua
serba kecukupan dan dengan fasilitas yang terpenuhi Joe tidak melihat remaja
yang begitu susah mendapatkan haknya untuk mengakses kesehatan, untuk sekolah
lagi apalagi untuk tidak mendapatkan stigma hanya karena mereka seorang ODHA.
Yang ditakutkan masyarakat sebenarnya bukan virusnya karena masyarkat sekarang
sudah pandai dan mengerti kalau HIV hanya bisa menular melalui kegiatan beresiko
tidak dengan bersalaman bahkan tinggal bersama. Yang ditakutkan adalah latar
belakang mereka kaum ODHA. Namun apakah nasib Shue disamakan dengan orang
beresiko tinggi? Yang hanya seorang korban dari orangtua yang tidak tahu atau
bahkan tidak mau tahu dengan nasib anaknya yang membutuhkan keadilan dalam
menjalani hidup.
Akankah ku terima cinta
Shue setelah ku tahu kebenarannya bahwa dia orang dengan HIV? Tidak, aku tidak
melihat Shue sebagai ODHA saat itu, yang kulihat adalah ketulusan hati seorang perempuan
ada pada dirinya, tegar itu ada jauh di dalam lubuknya.
Shue tertunduk Bahagia begitu
melihatku menjawab dengan tegas dan yakin bahwa aku siap menerima nya sebagai
pendamping hidupku tanpa harus pikir panjang.
“Bagaimanapun
kondisi Shue atau apapun penyebab Shue bisa seperti ini saya tidak peduli Pak,
saya akan tetap melamar Shue sebagai calon istri saya.
Tidak
lama pintu rumah Shue diketuk,
“Mau
cari bang Joe kak, ada?”
“Ada
tuh, masuk aja” Shue mempersilakan masuk sosok gempal lagi pendek itu.
Loh?
kok Bill nyusul? ke rumah Shue pula! bagaimana dia tau?
“Ayo
pulang Bang!”
“Bang,
bang Joe mau sampe kapan di sini?! Udah mau tutup lho perpusnya.”
Joe
yang kaget setengah mati terbangun dari tidurnya, ternyata semua itu mimpi
belaka. Dengan masih sedikit linglung, Joe sempoyongan mencoba mengumpulkan
nyawa yang tersisa meninggalkan ruang baca sambil mencari sosok Shue,
“Kak
Shue udah pulang dari tadi, bangunin kak Joe malah ngigo senyam senyum sendiri.
Dasar..!” respon Bill yang tahu bahwa Joe sedang mencari Shue.
“Itu
bukunya mau Bang Joe pinjem? kok dipegang terus?” sela Bill mengingatkanku akan
buku dergambar pita merah yang aku pegang selama tertidur pulas tadi. Buku itu
berjudul “Jangan Panggil Aku Penderita” ciptaan Sulastri. Ku buka
halaman biodata penulis dan kutemukan foto Shue di sana! Apakah ini yang
dinamakan jodoh tak akan kemana?
Sekembalinya dari
perpustakaan Joe tak ingin semua mimpinya berakhir. Seperti apapun kondisi dan status
Shue akan dia terima dan Joe siap untuk melanjutkan mimpinya menjadi kenyataan.
***
Komentar
Posting Komentar