CERPEN | Teman Menunggu Harapan
Teman Menunggu Harapan
Pagi-pagi
di lorong depan perpustakaan kampus. Sunyi, belum banyak orang lalu-lalang kesana kemari untuk saling
menyombongkan diri. Biasanya dengan cerita basi yang diolah lagi. Mungkin sudah
satu jam lebih aku menunggu. Menunggu agar hidayah bisa mampir pada orang yang
penuh dengki. Tapi demi datangnya hidayah harus dibarengi dengan usaha, usahaku
untuk mencoba memberinya perhatian lebih. Tengok kanan-kiri dan akhirnya yang
dinanti kemari. Aku cegat dan dengan cepat tanpa basa-basi menyerahkan sebuah
kado bersampul batik. Senyumku sedikit menyeringai, tapi tetap tidak berani
memandangi. Kadonya sebenarnya tidak terlalu besar, hanya seukuran telapak
kaki.
“Apa ini?” katanya jutek,
ku rasanya dia juga tidak sudi memandangku. Mungkin juga jijik menerima benda
itu.
“Simpan
saja.” kataku masih tidak memandang wajahnya
“Tidak
perlu.” aku mundur perlahan, oke ini lampur kuning aku tidak boleh gegabah
“Pemberian
tidak boleh ditolak.” aku mencoba bertahan. Daann.. dia menerimanya!
Terima
kasih.. setidaknya aku ingin mendengar kata-kata itu dari mulutnya. Tapi ya
sudahlah, tidak terucap pun tidak apa. Aku sudah biasa menghadapi orang model
dia, yang batu dan tidak bisa menghormati sesama. Astaghfirullah, lagi-lagi aku
membicarakan keburukannya. Perginya meninggalkan wewangian segar yang masih ku
ingat betul dari semester pertama hingga semester lima, rambutnya terurai
panjang masih agak sedikit basah melambai-lambai seakan mengejekku dari jauh: Dasar
lelaki tak tahu diri, bye!
Biarlah pengalaman pahit
berlalu bersama angin lalu, toh semua orang juga tahu bahwa tindakan
perundungan sekecil apapun tidak dibenarkan. Bukan karena mentalku lemah, jika
lemah mana mungkin aku berani memberi sesuatu kepadanya? Untungnya ususku panjang. Sabaar sekali..
Aku
tidak habis pikir, entah kenapa aku bisa seberani itu memberikan kado
kepadanya. Apakah aku mengagumi Tris? Atau menaruh hati padanya? Sampai harus
rela mengambil gambar diam-diam tanpa sepengetahuannya. Aku tiba-tiba pusing
sendiri memikirkan alasan ini. Dulu aku rela diinjak-injak, kini malah ku beri
hadiah. Dulu aku rela dihina, kini masih ada senyumku yang mengembang untuknya.
Walau sedikit ragu dan takut dipermalukan kembali. Apalagi ini di depan
khalayak. Aku tidak habis pikir dengan perbuatanku sendiri. Ku harap dia suka
pemberian dariku.
Sepertinya
Tris sudah melupakan pemberian dariku, terlihat langsung asik kembali dengan
kawan-kawannya berjalan menyusuri lorong dengan penuh sukacita. Biasanya kalau
perempuan akan langsung membicarakan apa yang ia dapat dari seorang laki-laki.
Disertai dengan bisik-bisik dan gemerisik tawa dan rona di pipi.
Heh!
Ra! Apa yang kamu lakukan di sini?
Tanya
koran bekas yang masih tergelantung di sebuah kotak kaca tempat kesehariannya
digantung, seperti perasaanku saat ini. Sehari-hari aku biasa bercakap padanya.
Pada surat kabar harian yang bisa membaca isi hati manusia. Tapi sepertinya
hanya aku seorang di kampus yang bisa dibaca olehnya. Sudah seperti orang gila
saja, tapi beginilah nyatanya.
“Tidak
ada.”
Jangan
bohong! Tadi aku melihat kau memberi sesuatu kepada Tris,
Kau
jatuh cinta?
Mukaku
mungkin terlihat sedikit merona, tapi aku berusaha menahan ekspresi itu dan
mengalihkan pandanganku agar tidak kentara.
Hahaha,
aku melihatnya.
“Aku
tidak peduli.” aku berteriak sambil berlalu meninggalkannya lembaran yang telah
terlihat kusut dan ada beberapa sobekan tanda ia harus berganti jadwal dengan
yang lain.
Demi
apa aku pagi-pagi buta sudah ada di depan perpustakaan untuk hal sekonyol ini,
padahal jelas dia mungkin membenciku. Padahal jelas dia sering melakukan
kejahatan kepadaku. Padahal jelas dia sering mempermalukanku. Hanya karena
ingin melihatnya mengucapkan kata terima kasih, namun belum ku dengar darinya
kali ini. Mungkin ia lakukan di lain kesempatan, saat hidayah datang
menghampiri. Tapi entah kapan.
***
Seminggu
menunggu dan mondar-mandir di depan perpustakaan membuat jantung ini bukan lagi
sekadar dag-dig-dug. Tingkah lakuku mulai banyak dilihat adik angkatan, seperti
orang gila. Di saat-saat seperti ini malah semakin kacau tak karuan. Nafasku
mulai memendek disertai keringat dingin. Cemas!
Mungkin
aku pulang saja daripada menunggu sesuatu yang belum pasti. Mungkin juga kado
yang ku beri sudah bersarang di tempat sampah. Mungkin dia jijik saat melihat
ada benda yang tidak begitu berharga disbanding limousine yang setiap
hari ia tunggangi. Atau mungkin aku yang terlalu konyol untuk mendapatkan
perhatiannya yang bukan siapa-sapa untuk dirinya?
Hei
Ra!
Aku
tersentak! ku kira Tris!
“Kenapa?”
Kau sudah seperti Pak Gantar.
Mondar-mandir sambil mengepel lantai dengan sisa celana bututmu
“Bukan urusanmu.”
Pak Gantar adalah tukang
bersih-bersih merangkap tata usaha yang pekerjaannya saban hari menjamah si
lusuh kora nan cerewet itu.
Tapi ini wilayahku, aku
berhak tahu
“Dia belum memberi
tanggapan.”
Wajahmu terlalu kecut
untuk dipamerkan kepadaku, kenapa tidak kau hubungi Tris?
“Nyaliku ciut.”
Sudah dua setengah tahun
kau masih belum berani bicara
“Aku hanya ingin Tris
sadar, itu saja.”
Sadar akan orang yang
diam-diam menaruh hati?
“Sok tahu kamu.”
Wajahmu merah seperti
kemarin. Hahaha..
“Aku pergi, terima kasih
sudah peduli.”
Jangan kembali jika kau
masih belum punya nyali..
“Bukan urusanmu..!!”
teriakku kepada kora sambil mengacungkan jari tengah kepadanya, tapi
orang-orang yang melihatku seperti orang gila berbicara dan marah-marah di
depan koran.
***
Sudah
hari ke sekian yang sudah malas ku hitung karena kaki dan hati juga mulai
lelah, apalagi jika bukan untuk menunggu jawaban dari Tris.
Heh!
Aku
sengaja tidak mengajaknya bicara, aku marah padanya. Pada selembar koran lusuh.
Aku
ingin memberitahumu sesuatu, mendekatlah
Masih
dengan raut cemberut dengan lollipop masih ku gigit walau hanya tersisa
batangnya saja. Enak sih!
“Apa?!”
Jangan
galak-galak dong, emang kau tahu umurmu berapa? Kalau kau mati dalam keadaan
cemberut gimana?
“Aku
sudah seperti orang gila berbicara di depan koran setiap pagi tahu!”
Memang
kau gila! Hahahaa..
“Kurang
ajar..” aku menggerutu saambil menggigit batang lollipop hingga peyot dan
berlubang.
Tris
kemarin ke sini mencarimu
“Jika
berdusta ku sobek-sobek kau nanti.”
Lihat
di atasku ada sebuah amplop, entah apa isinya. Sepertinya jawaban atas penantianmu
Dia
tidak berbohong! Ada amplop namun bukan amplop milikku yang ku sisipkan di
dalam kadonya. Amplop bergambar kelinci kecil dengan pinggiran berwarna jingga
bercampur merah muda, sama seperti rasa yang ku rasakan saat memegangnya dengan
gemetar.
“Maaf.”
Untuk
apa?
“Sudah
memarahimu dari kemarin.”
Kenapa
kau marah padaku? Memang aku pacarmu?
Aku
mengacuhkannya lalu membuka selembar surat dengan tulisan rapih di sana. Ku baca
dengan teliti dan hati-hati juga hati yang hampir mau copot. Seribu praduga
masih membayangi, apakah isinya merupakan penolakan secara halus atau…
GUBRAAKK!!!
Hei!
Heei..!! kau kenapa?! Aduh! Gawat dia pingsan pula, apa sih isinya?
Di
dalam selembar surat itu ada huruf yang ditulis dengan cukup tebal
Terima kasih album foto dan telah memperhatikanku
selama ini, jika ada waktu tanggal 07 bulan 07 jam 17 datang saja ke rumah.
Dasar
anak muda.
Yogya, Februari 2020
Komentar
Posting Komentar