Puisi | Netizen Maha Benar
Netizen Maha Benar
Di bangku
merah ini aku duduk diam
Menoleh kanan
kiri – asing bagiku
Tidak bagimu
dan dirinya
Bercengkrama
tentang agenda dan asiknya hidup
Walau dalam
layar biru
Kau tahu, aku
sendiri tak inginkan seperti ini
Diperkosa atas
ketidak adilan yang merampas hak ku
Terlahir dari
perut seorang b20,
Diaminkan
dengan segala kenistaan
Disini kita
bersama
Tak saling
kenal berbeda bunda
Seharusnya……
Saling
menyatu, saling membantu
Tapi, aku?
Hampir sama
dengan mu atau dengannya
Yang terkadang
menunduk tersipu malu atau mengernyitkan dahi
Membaca
kalimat demi kalimat
Dari seseorang
yang ku tahu tak ku kenal
Berisi pesan
tanpa makna yang menyudutkan
Seolah tiada
benar satupun ada padaku:
“saumpomo aku dadi koe, tak jogo keluargaku seko
para pelakor
Lan iku mesthi salah ibu mu sing ra iso muasno bapak
mu, mulo koe dadi ngono!”
Bosan, ku
palingkan pandang jauh
Dan berhenti
di bangku berwarna biru
Di ujung nomor
satu
Ku lihat dia
lain dari dirimu dan dirinya
Ku coba
menemukan apa yang ada dalam genggaman tangannya
Meremas asa
dengan kaki gemetar
Membuat pernyataan pernyataan penghakiman
Dan lupa bahwa di atas langit masih ada langit
Namun semua tak mempan pada hati yang tlah membatu
Satu dekade air mata ini tak henti bercucuran
Dari sindiran hingga tamparan yang membekas
Bahkan tak sembuh oleh waktu
Sosoknya tak
asing bagiku
Ingin ku ingat
dan bertanya pada kawan yang baru saja datang
Menyapa
membelah lamunanku
Namun lenyap
ditelan masa
Memenuhi
barisan merah berubah kelam
Lampu padam
Semua masih
sama, asik dengan dirinya dan dunia maya
Yang
menjauhkan yang dekat
Yang
mendekatkan yang jauh
Entah rumus
dari mana sejak penjajah pergi tak kembali
Kami dijajah
oleh kesongongan dan kesendirian
Seandainya kita saling bertemu
Seandainya kita bisa bersatu
Semestinya kita tak saling menipu
Harusnya kita melindungi bukan seolah tak tahu
Jogja, 2018
Kota budaya yang tetap indah jika rakyatnya saling
menjaga
Komentar
Posting Komentar