CERPEN | Berlarilah Kandar!
Banyak orang memandangku sebagai sebongkah kotoran yang
berserak di jalanan, namun seringkali sebagian orang menganggap ku seorang papa
yang tidak punya daya upaya untuk mengarungi kehidupan yang keras di ibu kota. Dari
usia empat tahun aku sudah kenyang menerima “cacian” berkedok belas kasihan
dari stasiun televisi maupun artis yang hendak menaikkan popularitasnya demi
mengeruk pujian dari masyarakat terhadap keluargaku terutama kepada kakak ku. Apakah
ini meruppakan jalan kehidupan yang harus aku lalui? Sempat ku berpikir seperti
itu, mengeluh kepada Sang Pemberi Nikmat.
Di zaman modern seperti ini
sepertinya susah sekali membedakan mana itu perlakuan memanusiakan manusia atau
menaikkan harga diri. Tipis perbedaan antara angkuh dengan dermawan. Yang kutahu
hanya pak Darmawan yang kini sering kali mondar-mandir di layar televisi
sebagai news anchor. Bukan menghina, tapi dia juga tidak ada yang namanya
peduli kepada keluargaku yang mempunyai hutang budi karena bisa masuk salah
satu stasiun televisi ternama. Menengok almarhum bapak saja tidak, banyak
alasan kenapa orang kaya lebih egois mementingkan dirinya sendiri dari pada
mementingkan orang lain. Salah satunya karena tidak ingin terlihat kotor
berteman dengan manusia tidak simetris seperti ku.
Manusia terbaik yang aku kenal hanya Widodo, seorang pemuda
yang kegiatan sehari harinya memulung sampah di sekitar perumahan ku tinggal. Semenjak
kecelakaan yang merenggut semuanya, kedua orangtuaku, kaki kananku, kakak ku,
hingga seringkali aku malu untuk keluar rumah kecuali membuang sampah dan
bersapa dengan Widodo. Kadang dia menanyakan kabar kakakku yang tengah duduk berdiam diri tanpa ada secercah harapan.
Semua kini bertumpu padaku seorang, walau masih ada Bi Surti dan beberapa asset
harta bapak, tapi aku tak tahu lagi harus berbuat apa, aku depresi sejadi jadinya.
Mengutuk segala yang telah menimpa kehidupanku, keluarga yang ku cintai.
Siang malam aku selalu terjaga mengurus kakak yang tidak
bisa lagi membedakan ruang tamu dan kamar mandi, kadang tetangga yang melihat
hingga menggelengkan kepalanya, langsung saja ku semprot balik dengan amarahku.
Keluarga ini begitu berantakan.
***
Saat pagi di hari sabtu aku biasa
mengajak kakak untuk berjemur di halaman rumah kami. Seperti biasa pula Widodo mampir
ke rumah untuk mengambil sampah yang bisa ia jual ke rongsokan. Aku tahu
niatnya baik, ku kumpulkan peralatan elektronik yang sudah tidak terpakai, percuma
juga untuk memperbaikinya, andai bapak masih ada, disulapnya menjadi barang
lain yang lebih berguna.
“Benar tidak terpakai? Masih bagus
lho Ndar.”
“Bawalah, aku capek melihat
benda-benda itu Menuhin rumah.”
“Makasih ya.”
“Mas, kalau ada info lowongan kerja
aku diberi tahu ya.”
“Mau yang bagaimana?”
“Apa saja, yang penting bisa
menerima kekuranganku.” sambil memijit satu-satunya kakiku.
“Kalu untuk teman-teman disabilitas
aku kurang tahu, tapi sepertinya komite olahraga paralimpic butuh atlet. Minat?”
“Ah, yang benar saja. Bisa apa aku.”
“Dicoba sajalah, oh iya, mbak Diana
sudah sarapan?” tanya Widodo sambil melirik ke kakak perempuanku satu-satunya.
“Belum mau makan mas, paling nanti
siang.”
“Oh begitu, kebetulan aku bawa nasi
kuning berlebih. Nanti mbak Diana makan ya.” tangan Widodo mengulurkan
bungkusan dan ku terima sambil mengucapkan terima kasih kepadanya. Sebenarnya persediaan
makanan di rumah juga cukup berlebih. Widodo begitu baik kepada kakak ku, sejak
insiden kecelakaan, kondisi kejiwaan kakak terganggu dan Widodo satu-satunya
orang yang pernah mengurus orang dengan gangguan jiwa. Jadi begitu pedulinya ia
kepada kakakku.
Aku memikirkan tawaran yang diberikan dari Widodo. Mungkin
tidak ya aku menjadi atlet paralimpic? Sedikit demi sedikit aku belajar untuk berolahraga.
Berlari menggunakan kursi roda, kadang menggunakan krek untuk berjalan dan
menendang bola. Semuanya tanpa hasil. Berulang kali ku terjatuh dan seringkali aku
mencaci diriku sendiri. Namun aku tidak boleh menyerah sedikitpun. Aku harus
tunjukkan kepada mereka yang memandang rendah diriku agar tahu bagaimana seorang
disabilitas bisa berprestasi.
Aku memesan kaki palsu dari sebuah toko online sebagai
alat bantuku berlari. Kakak hanya termenung melihatku berlatih di dalam rumah. Kadang
Widodo ku suruh untuk menjaga kakak, sementara aku berlatih di lapangan.
***
Saat aku berlatih lari sprint pada minggu ke tiga di
stadion, ada laki-laki memakai seragam dinas berjalan menuju arahku, ku pikir
dia orang penting di komplek stadion ini, dia dengan sopan menyalami kakak ku, Widodo
dan aku, “Mas tinggal dimana? Saya lihat mas rajin latihan di sini.”
“Ah saya Kandar pak, tinggal di blok
C, tidak juga pak. Baru beberapa minggu.”
“Mau ikut kompetisi apa mas?”
“Ng.. saya cuma sekedar gerak saja
pak.” malu aku jika menjawab ingin ikut audisi untuk kompetisi nasional. Orang awam
macam aku pasti akan dtertawainya.
“Kebetulan saya mencari tuna daksa untuk ikut kompetisi lari di tingkat provinsi. Tertarik?” aku melirik ke arah Widodo, ia membalas dengan anggukan. Aku berfikir sebentar.
“Kebetulan saya mencari tuna daksa untuk ikut kompetisi lari di tingkat provinsi. Tertarik?” aku melirik ke arah Widodo, ia membalas dengan anggukan. Aku berfikir sebentar.
“Kalau iya, ini kartu nama saya. Di
situ ada nomor telpon dan alamat rumah saya.” aku hanya mengangguk mengiyakan
seraya dia meninggalkan kami dengan senyuman ramah. Aku dan Widodo saling
berpandangan dan mengernyitkan dahi. Widodo tersenyum sambil mengarahkan kakak
ke arahku. Kakak tersenyum kepada ku sambil tepuk tangan seperti anak TK.
***
Hari yang ditunggu tiba, aku akan berangkat untuk pertama
kalinya berkompetisi di salah satu stadion terbesar di kota. Kakak ditemani Widodo
dan Bi Surti untuk mengantar kepergianku ke bandara.
“Kak, kakak baik-baik ya di rumah. Bi,
Kandar titip kakak ya.” bibi hanya tersenyum mengangguk. Kakak seperti biasa, tatapannya
tidak bisa dikontrol, seluruh terminal ia pandangi.
“Wid, aku titip kakak ya.”
“Jangan khawatir, sukses kau di
sana, jangan malu-maluin kakakmu.” Widodo meninju bahuku, aku tersenyum melihat
kakak. Kakak mengarahkan pandangannya ke wajahku dengan tatapan sendu.
“Berlarilah Ndar!”
Aku memeluk kakak dengan sesenggukan, kakak bisa bicara
dan dia menangis? Ya Tuhan, terima kasih kau telah memberikan nikmatMu
kepadaku. Bibi dan Widodo juga ikut terharu, kami berpelukan dalam dalam
membuat kepergianku begitu berat.
Wates, 18 Januari 2020
Komentar
Posting Komentar