CERPEN | Janji Yang Tak Pernah Terjadi


JANJI YANG TAK PERNAH TERJADI

Di taman itu, jarum arloji tak lagi menyimpan kecemasan didera waktu. Di sini, waktu telah bosan, bersender dalam pelukan sunyi nan agung.
Tapi, gemuruh perasaan tetap saja memenuhi rongga dada laki-laki itu. Perasaan gamang yang menerbitkan rasa bimbang mengiringinya memasuki lapisan labirin hingga ia sampai di lokasi yang dijanjikan. Dua buah ayunan berayun mengalun seakan menemani keresahan lelaki itu. Juga retak-retak besi berkarat yang mengabarkan piranti bermain itu telah berusia puluhan tahun.
Mata laki-laki itu menyapu sekitar. Angannya tertuju pada satu sosok yang ditunggunya. “Tunggu aku di taman Digital, taman dekat kantor pos ya.” begitu pesan yang terucap pada perempuan dengan gaun merah menyala.
Meskipun disebut Taman Digital, taman ini sangat jauh dari bayangan orang tentang taman bermain yang kini sudah tergantikan oleh wahana super canggih pada umumnya. Tak ada pedagang yang biasa transit sekedar melepas penat di sana. Apalagi anak-anak yang dulu sering bermain bola sepak. Yang bisa ditemui hanyalah rumput ilalang tinggi menjulang sekitar lutut orang dewasa. Di sekitarnya terdapat beberapa mobil Chevrolet usang yang sengaja ditumpuk dan di warnai oleh tangan tangan para vandalisme. Orang pun biasa mengambil gambar sekedar menjadikannya tempat viral sesaat lewat media sosial. Saat langit gelap. Banyak orang percaya, dulu di di sini banyak sekali penampakan, dan tidak sedikit yang merasa terusik oleh kehadirannya yang tak nyata.
Mentari telah matang ketika laki-laki itu telah sampai di sebuah bangku yang agak lapuk di pojok taman. Dia pun termangu. Beberapa kali dia menghela napas agar jantungnya kembali normal berdegup. Sekaligus juga untuk memompa nyalinya, mempersiapkan akan segala hal yang akan terjadi. Lama dia menunggu munculnya sosok yang akan ia ajak ke rumahnya untuk dikenalkan dengan keluarga. Namun, yang ditemui hanyalah kesunyian. Gelisah pun mulai berkecambah. Pulang adalah pilihan terbaik, begitu dia membatin.
Ketika dia hendak balik arah, mendadak muncul seorang berwajah dan berpostur tubuh sama persis dengan perempuan itu. Bibirnya merekah merona dengan gaun yang sama persis saat ia temui pertama kali, namun ada yang berbeda, wajahnya Nampak sayu dan hendak mengatakan sesuatu. Kini perempuan itu berdiri hanya berjarak satu meter dari dirinya. Rambutnya ikal terurai sepanjang bahu, persis dengan rambutnya. Wajahnya oval dengan kerucut di dagunya yang selalu membuatnya dirundung rindu. Tapi satu, langkahnya layu tak bersemngat seperti biasanya.
“Apa yang terjadi padamu?” laki-laki itu masih bisa menangkap wajahnya dengan raut muka yang sembab dan memendam luka cukup dalam namun berat untuk diungkapkan.
Dia tidak menjawab, langkahnya hanya gontai hingga ia mengambil posisi untuk duduk bersama laki-laki itu. Kontan laki-laki itu kaget. Tangannya begitu dingin sedingin rasa penasarannya namun enggan untuk mengorek lebih dalam. Lelaki itu takut untuk menyinggung perasaannya. Lelaki itu memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Tolong jangan memperkeruh suasana. Ceritalah walau pahit kenyataanya.” perempuan itu seperti bisu dan mematung dengan menatap dua lututnya yang sengaja ditutupi oleh kedua tangannya yang membeku.
Laki-laki itu disergap rasa heran tapi juga sedih. “Tolong.” laki-laki itu mencoba memahami arti perkataanya.
“Maksudmu?” ujar lelaki itu kembali.
“Tolong jangan benci aku.” jawab perempuan itu
“Segala kemungkinan bisa saja terjadi.” kini tidak berani menatapnya karena seribu angan negatif berkecamuk di pikirannya.
“Tapi kenapa wajahmu tampak menyembunyikan kesedihan dariku?” nadanya sedikit meninggi agar laki-laki itu segera mendapatkan jawabannya.
“Aku tak mau membuatmu kecewa lebih dari ini.” perempuan itu tetap dengan posisinya dan prinsipnya.
Laki-laki itu terdiam. Tampak berpikir. Rasa heran semakin berkecambah di benaknya. Ada apa ini sebenarnya?
“Aku ingin kau ke rumah, ku kenalkan dengan keluargaku.”
Perempuan itu kembali terdiam. Pikirannya sibuk menghitung rencana dan hal terburuk yang akan terjadi jika ia tak bisa membuat gadis yang akan dinikahinya dua pekan yang akan datang membuka suaranya, menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya.
Ia ingat betul kebahagiaannya memuncak saat perempuan itu menerima permintaannya untuk menjalin hubungan dan bukan hal yang mudah untuk mempertahankan jalinan kasih selama sepuluh tahun ini, walau diwarnai dengan selisih paham dan over protective karena masa lalunya yang gemar mempermainkan laki-laki. Lambat laun sikap kekasihnya bisa berubah dan mengikuti kesepakatan bersama menuju hubungan yang lebih baik.
Pun berbuncah saat mengenang bahwa pada usia 15 tahun dirinya masih tampak lugu, dengan fokus untuk mencari modal untuk melamar gadis pujaan hatinya, hingga berhasil membangun usaha di usia 25. Gumpalan perasaan yang semula menekan rongga dadanya pun mencair.
“Kalau kau tidak mau mengatakannya,”
Lagi-lagi perempuan itu menunjuk ke suatu arah yangmembuatnya terhenti sejenak. Sambil meneteskan air mata ia tersenyum. “Di sana ku bertemu kesedihan, sekali lagi maafkan aku.”
Belum sempat laki-laki untuk bertanya, kesedihan macam apa yang bisa membuat mu menderita di ujung perjalanan kisah cinta kita? Tangan laki-laki itu ditariknya untuk berjalan menuju arah yang ditunjuknya. Hawa nya sangat aneh sekali dirasakannya. Antara ada dan tiada sosok perempuan yang bertahun tahun hadir mengisi hari-harinya. Laki-laki itu tersengat. Darahnya berdesir. Wajahnya tampak tegang. Keringat  dingin mulai menetes dari rahangnya yang tegas. Tangan erat perempuan itu lama ia rasakan hingga tak ada lagi kehangatan yang cukup untuk melunakkan perasaannya hingga detik ini. Merasa di dekatnya pun tak lagi mencium bau harum seperti saat pertama kali berkencan dengannya.
Cukup jauh lelaki itu melangkah bersama demi meraih tujuan yang menjadi misteri dan akan pesan dari perempuan itu. Bajunya berkibar tertiup angin membuat tubuhnya seakan melayang. Ketika sampai di ssebuah perempatan jalan Nampak kerumunan orang sedang melihat sesuatu hal yang membuat laki-laki itu penasaran. Perempuan yang digandengnya menghilang. Laki-laki itu bingung tapi juga rasa penasarannya membuat ia ingin melangkah maju, siapakah sosok yang dikerumuni oleh warga?
Beberapa kali ia ucapkan kata maaf tiap akan menyalip kerumunan orang, namun tak kuasa kagetnya ia betapa yang dilihatnya sesosok orang yang selama ini menemaninya dalam diam. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Pikirannya kacau kemana-mana, dan tangannya gemetar hebat. Disertai lututnya yang tak mampu lagi menahan berat tubuhnya. Laki-laki itu jatuh berlutuh dihadapan sosok mayat yang berlumuran darah, tubuhnya ditahan oleh pihak kepolisian.
“Maaf, bapak sementara dilarang mendekat lokasi kejadian. Silahkan mundur dulu.”
Namun laki-laki itu sudah tidak bisa mendengar apa yang diucapkan petugas maupun orang-orang di sekitarnya. Yang ia bisa ucapkan hanya nama perempuan itu. “Sarah, tunggu aku. Jangan tinggalkan aku sarah.” begitu terus berulangkali hingga kesadarannya menghilang perlahan.
***
“Pak Santo, saarapannya silakan dimakan dulu.” seorang perawat mendekatiku sambil menaruh nampan berisi sarapan untuk laki-laki itu, kepalanya masih pening dan kenangan terakhir yang masih lekat adalah baju merah dengan noda darah yang meleleh dari kepala Sarah, namun dia hanya membalas dengan kepanikan dan menanyakan calon istrinya.
            “Dimana Sarah sus?!”
            “Tenang pak, Bapak tolong tenang dulu.”
            “Ibu Sarah sudah pergi, yang sabar ya pak.” laki-laki itu menangis sejadi jadinya dalam kehancurannya. Kata maaf terakhir yang terucap pada sosok sarah di taman merupakan pesan terakhir, dan ia harus rela untuk melepasnya pergi tuk selama lamanya. ***

Komentar

Postingan Populer